Apa pekerjaan wartawan? Melaporkan berita, menyampaikan fakta di lapangan? Yes. Tapi sebenarnya formula kerjaan kita yang paling besar porsinya itu menunggu. Yap, menunggu. Saat ada kasus besar, Dang, memang kekacauan, intensi adrenalin yang tinggi misalnya saat ada bom atau teroris digerebek, wartawan langsung gerubukan ke lokasi dan melakukan apa yang anda lihat di televisi, melaporkan kejadian.
Namun, saat saat lain, berdasarkan analisis sotoy saya, sekitar 70% waktu untuk menunggu. Menunggu hasil Rapat Dengar Pendapat di DPR, menunggu narasumber yang lagi meeting sebelum bisa di SOT (Sound on Tape) – istilah kita untuk statement yang direkam, menunggu pihak yang akan diperiksa KPK – dan bahkan- setelah yang akan diperiksa itu datang kita kembali menunggu doi selesai diperiksa, menunggu statement dari pimpinan atau jubir KPK tentang pemeriksaan, menunggu sidang yang kadang ngga jelas kapan mulainya, dan bahkan menunggu narasumber dandan sebelum dia mau di wawancara (yes, saya pernah mengalami menunggu narsum cantik yang ngga pede kalo ngga dandan tebel sebelom diwawancara).
Jadi jangan salahkan kami para pekerja pers kalau punya kebiasaan selonjoran seenaknya dimanapun kapanpun. Di KPK misalnya, kalau anda pernah kesana pasti liat pasukan newsperson ini pada duduk duduk di kursi, sebagian duduk di lantai bawah depan lobby tempat mobil lewat. Kalau masuk lebih ke dalam, sebagian sudah dalam posisi lebih nyaman lagi menunggunya, dari duduk miring sampai tiduran di lantai. Hal yang sama berlaku di DPR, Mabes Polri, dan lokasi lokasi lain, dimanapun kami harus menunggu.
Jujur aja, siapa sih yang seneng nunggu? Ngga ada kan, nungguin temen yang dateng janjian telat aja malesin banget, apalagi nunggu berjam jam untuk sesuatu yang kadang kita ngga tau pasti juga. Saya paling sebel nunggu “kemungkinan.” Misalnya, kemungkinan si anu dateng kesini, kemungkinan si anu ada di rumahnya, kemungkinan si anu bakal kasih statement penting, kemungkinan presiden kasih statement heboh.. dan ternyata hasilnya ngga layak dijadiin berita alias ngga penting. Tapi ya namanya juga itu porsi kerjaan wartawan. Lama lama badan ama otak ama mood ini beradaptasi sama tugas mulia menunggu itu, ciri cirinya jadi bisa membuat posisi enak dimanapun, ngobrol dari a ampe z ama temen temen wartawan lain supaya ngga bosen, ngutik bb dan twitteran (I sure does kill time for me), sampe kebiasaan masukin perkakas yang banyak banget ke tas supaya banyak “peralatan” atau gadget menunggu.
\
Untuk statement seseorang yang tayang semenit, kadang perlu seharian – atau bahkan lebih mengejar ybs sampai pita suaranya mau berbaik hati keluarin vokal di depan mike atau recorder wartawan. Jadi bayangkan berapa banyak waktu yang dihabiskan buat menunggu tiap harinya. Hmm.. pastinya lamaaaaaa…..
#ihateslow
emang menunggu pasti nggak enak, tapi kalo nunggu menyangkut kerjaan see harus di siasati spy nggak bad mood, misal bawa smartphone
BalasHapussalam,
@threeemose
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusEmang paling ga enak yang menunggu sesuatu yang ga jelas kepastiannya. Kadang nunggu cape2 eh malah sia2. Ternyata jadi wartawan musti panjang sabar. Hehehe.
BalasHapusPernah ga mengalami kejadian sang narsum yang menunggu wartawan yang tak kunjung dtg? #justcurious
setuju...bahkan sesuatu yang sudah dijadwalkan dengan rinci pun kadang molor berjam-jam...ughhh...walhasil, kita pun mengantisipasinya dengan datang terlambat, biar nunggunya ga lama2 amat...hahaha
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus