Setiap ada bencana atau kecelakaan, laporan jurnalis di
lapangan menjadi sorotan utama. Informasi pertama tentunya dari mereka yang ada
di lokasi. Di masa berkembangnya sosial media, tanggapan dan kritik keras
dengan mudah mengalir dan langsung dapat disampaikan ke jurnalis yang bekerja.
Rata rata kritik yang disebutkan mulai dari pertanyaan yang
standar dan sudah jadi keluhan semua orang yaitu "apa perasaan anda?"
karena jelas jelas keluarga korban pasti sedih, intinya sedih atau shock dan
melontarkan pertanyaan tersebut memang membuat kesal yang menonton. Memang,
saat mewawancara jurnalis selalu ingin memancing kata kata yang menunjukkan
emosi. Lirik emosional dari sosok keluarga selalu menarik, memancing sisi
humanis dan empati kita.
Saya saat bertugas di lapangan dulu sering berkelit sedikit,
intinya sama saja, saya ingin memancing yang diwawancara agar menceritakan
detail perasaan mereka. Biasanya saya memulai dengan meminta keluarga korban
menceritakan situasi saat mereka mendengar kabar buruk tersebut. Kemudian saya
menyimpulkan sedikit dengan memberi komentar "anda pasti kaget dan sedih
mendengar kabar itu, bisa ceritakan emosi anda saat ini?" ya, intinya sama
saja, saya menanyakan perasaan mereka namun dengan kata kata yang sedikit
berbeda.
Hal lain yang biasanya dikritik keras adalah seringkali
jurnalis lapangan tampil menyampaikan berita tanpa empati. Kata
"mayat" seakan akan merendahkan jiwa yang telah hilang dari raga
tersebut. Memang hanya persoalan kata, namun pemakaian kata mesti sangat hati hati
dikala meliput bencana. Saat mengetahui puluhan atau bahkan ratusan nyawa
diputus oleh takdir alam, penonton yang bahkan tidak memiliki ikatan hubungan
langsung dengan korban menjadi sangat sensitif.
Saya punya pengalaman yang paling saya ingat. Pengalaman
yang bagi saya sangat tidak membanggakan namun merupakan pelajaran terbaik.
Saat itu saya ditugaskan meliput letusan gunung Merapi. Usai letusan, posisi
saya adalah di rumah sakit di Magelang dimana banyak korban dilarikan ke rumah
sakit tersebut.
Ada seorang ibu yang baru kehilangan anaknya. Saya sedang
melakukan laporan langsung saat itu. Hati dan pikiran keras menolak untuk
mendekati ibu itu, hati saya menahan, ingin membiarkan saja sang ibu yang
sedang berduka dalam kesendirian menangisi kehilangannya. Namun, saat itu saya
tidak berpikir panjang. Tuntutan memberikan laporan langsung yang menarik
membuat saya mendekati ibu tersebut dan mewawancarainya.
Ibu itu menjawab pertanyaan saya, bercerita dengan sedikit
terisak mengenai anaknya. Saya kembali membiarkan ibu itu dalam kesendirian dan
melanjutkan laporan langsung saya. Saya tahu yang saya lakukan tidak bijak,
namun saat itu saya tidak berpikir panjang.
Usai laporan langsung, di jeda iklan, ratusan status di
twitter mengkritik keras. Dari sindiran halus hingga cercaan masuk bertubi tubi
di alamatkan ke account saya. Saat itu saya terhentak, sadar apa yang saya
lakukan salah dan benar benar salah. Secara jurnalistik itu tidak salah, namun
kemana empati saya saat itu. Hilang tertutup keinginan memberikan materi yang
menarik.
Saya sedih, bukan karena cercaan yang demikian keras, ejekan
dan kata kata kasar yang dialamatkan kepada saya. Namun, saya sedih karena saya
sadar saya salah. Hati ini sakit mengetahui apa yang saya lakukan tak ubahnya
manusia yang tak punya hati. Saya menyesal, namun tak mampu mengubah apa yang
sudah saya lakukan.
Saya kembali meneruskan laporan langsung, berkali kali. Saat
laporan di area saya selesai, saya langsung mencari ibu yang tadi saya
wawancara. Hanya satu hal di pikiran saya, meminta maaf. Masuk ke rumah sakit,
saya temukan ibu itu sedang berjalan, saya langsung mendatangi dan meminta
maaf. Saya rasa saat itu ia yang masih shock tidak mampu mencerna kata kata
saya. Ia hanya diam dan mengangguk sambil langsung berlalu keluar dari rumah
sakit.
Saat itu saya masih diliputi perasaan bersalah. Berulang
kali saya meminta maaf di twitter karena telah melukai perasaan yang menonton,
saya terima semua kritik dan memang saya akui saya salah. Kesalahan besar.
Namun kejadian tersebut adalah pelajaran terbesar bagi saya
saat meliput kecelakaan atau bencana. Agar pikiran tidak putus dengan hati saat
melakukan tugas jurnalistik, agar berani tidak melakukan sesuatu yang jauh dari
empati meski secara content berita sangat "menarik"
Di area bencana, seringkali korban hanya jadi deretan angka.
Kami mengingat jumlah korban, melaporkan nama mereka, tapi lupa jika mereka
dulu punya jiwa dan hati, serta keluarga seperti kami. Usai kejadian itu, saya
selalu ingatkan diri sendiri agar jangan melakukan sesuatu yang ditentang keras
oleh hati. Agar tetap memelihara empati.
Jurnalisme itu memang berdasarkan fakta, namun saat bencana,
saat kecelakaan, saat nyawa manusia meregang, tugas jurnalistik harus dilakukan
dengan hati, dengan empati.
Semoga teman teman yang bertugas di kala bencana dapat
belajar dari kesalahan saya. Dapat berani menolak apa yang hati sarankan untuk
tidak dilakukan. Jurnalisme dengan empati, itu yang masih harus kita pelajari
bersama, itu apa yang masih harus media upayakan bersama.
***
Pelajaran yg menarik untuk diresapi, Mba :)
BalasHapusSemoga jadi pelajaran untuk kita semua :)
HapusSaya inget banget ada wartawa Metro Tv yang wawancara korban Merapi (ibu-ibu yang putranya meninggal). Setelah baca postingan yang ini ternyata itu mbak Prue. Waktu nonton Live saya sempat ngomong sendiri, "Ini serius reporternya wawancara ibu yang bayinya baru meninggal? Serius tega nih?"
BalasHapusSetelah baca postingan ini jadi tahu sudut pandang reporternya.
Terima kasih atas tulisannya. :)
Thanks mas, itu pengalaman berharga untuk saya :)
Hapusakhirnya nemu bahan buat skripsi saya "Konflik Peran Ganda Profesionalisme Humanisme Jurnalis saat Meliput Berita Konflik".
BalasHapusBoleh kah kak marischka jd narsumnya, kehormatan besar ni kalau di izinkan :)
boleh devi, email aja ke marischkaprue@gmail.com yaa :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWuih, jujur banget. Gue gak pernah tau elo pernah di-bully kayak gitu di Twitter.
BalasHapus