Pages - Menu

11 Oktober 2012

Hamshi, The Little Girl From Kabul



Kabul Afghanistan
Suasana di Kabul, Afghanistan


Hampir lima tahun hidup saya berubah dari manusia normal yang tinggal di kota besar menjadi seseorang yang punya kesempatan berkeliling melihat banyak lokasi, banyak masyarakat, melihat dari berbagai sisi kehidupan.

Sejak bekerja sebagai jurnalis, saya memang banyak berkeliling, mulai dari liputan di tempat mewah, ketemu pejabat hingga pemulung, masuk hotel bintang lima hingga ke daerah kumuh.

Seringkali ada beberapa momen yang menyentil hati saya, membuat saya sadar untuk terus mensyukuri hidup, menyadari berapa beruntungnya saya sebagai manusia dan masih banyak yang kehidupannya tidak dapat kita bayangkan jika harus kita alami.

Tahun 2011. Saya dan tim dari Metro Tv melakukan peliputan ke Afghanistan, tidak lama, hanya sekitar dua minggu kami berkeliling area Kabul, Ibukota Afghanistan. Akan cukup lama jika saya menceritakan kondisi disana saat itu, mari langsung ke satu daerah yang berjarak sekitar enam kilometer dari pusat kota Kabul.

Char-i-Kambar
Rumah rumah pengungsian dari material seadanya


Afghanistan
Anak anak di Afghanistan

Char-i-Kambar adalah area pengungsian di pinggiran kota Kabul. Disini bernaung sekitar 900 keluarga dengan fasilitas seadanya. Sebagian besar pengungsi berasal dari daerah rawan di bagian selatan Afghanistan, mereka memilih hidup di pengungsian karena khawatir dengan konflik yang terus terjadi di daerah asal mereka. Saat saya masuk ke area ini, puluhan anak kecil langsung mengerubuti kami, meminta uang. Fixer* kami saat itu, Qadir, langsung mengusir anak anak tersebut dalam bahasa lokal.

Mata saya langsung melihat area yang seperti tertutup pasir, bangunan yang ada benar benar dibuat dari pasir dan tanah seadanya. Mereka bahkan tidak menggunakan semen untuk membuat bangunan disana. Wajar saja, semen darimana, dan kalau adapun harganya pasti mahal.

Kami berkeliling sambil terus mencari tahu berbagai hal, dengan Qadir sebagai penerjemah kami. Nah, di satu "rumah" pengungsian, saya masuk, sudah ada Qadir di dalamnya. 



Bangunan ini tidak seperti rumah, hanya tembok dari pasir setinggi dua meter, dan di dalamnya ada ruangan kecil seperti gua, tanpa pintu dan hanya ditutup kain. Di ruangan inilah mereka tidur dan beraktivitas.

Ada satu anak perempuan, Hamshi, umurnya sekitar 6 tahun. Saya minta Qadir bertanya pada dia, apa yang ia harapkan mengingat situasi yang masih cukup tegang di Afghanistan. "Tidak ada" hanya itu jawaban dari anak bermata biru tersebut.

Saya yang tidak puas dengan jawabannya kembali meminta Qadir bertanya. Hamshi menjawab panjang, saya harus menunggu Qadir menerjemahkannya untuk saya. Dan apa yang dikatakan Qadir kemudian sangat menyentuh hati saya.

Hamshi, dalam enam tahun hidupnya, tidak pernah keluar dari pagar rumahnya. Kalau saya hitung, ia hanya bisa bergerak di area seluas 3 x 5 meter. Tidak pernah tahu apa yang ada di luar, bahkan di luar rumahnya, bahkan untuk bertemu sesama pengungsi yang ada di tempat yang sama.

Di Afghanistan, masih ada beberapa orang yang melakukan aturan yang bagi saya sangat menyiksa Hamshi. Karena ia adalah anak perempuan, ia tidak boleh keluar dari rumahnya. Sejak lahir ia terus ada disitu, hanya berinteraksi dengan keluarganya, hanya bisa memandang langit yang kadang biru, kadang mendung, kadang berawan dan kadang hujan. Ia tidak tahu ada jalanan yang beraspal, ada mobil di luar sana, ada birunya sungai dan hijaunya pohon.

Pantas saja ia menjawab "tidak ada" untuk pertanyaan saya. Bagi Hamshi, hidup memang seperti itu, sejak lahir. Ia tidak tahu ada sesuatu di luar sana, dan jika ia tidak tahu tentu ia tidak bisa menginginkan sesuatu yang ia tidak ketahui.

Saya benar benar tidak dapat membayangkan hidup seperti itu. Apa yang ia lakukan setiap hari? menatap langit? sampai kapan? Tuhan memberi keindahan yang luar biasa, dan ia hanya bisa melihat di ukuran 3 x 5 meter dengan dinding pasir. Ingin rasanya saya protes pada Tuhan, kenapa anak ini bisa punya kehidupan seperti ini, ia tidak salah apa apa dan harus hidup di dalam kotak.

Namun, bagi Hamshi, kehidupan yang ia jalani bukan kehidupan yang ia keluhkan. Baginya, hidup normal seperti itu, ia bisa tersenyum, bercanda dengan keluarganya meski dari kacamata kita, hidupnya sangat menderita.

Sedih rasanya tidak bisa melakukan apapun untuk gadis kecil ini. Kami hanya bisa memberi uang seadanya yang menurut saya juga tidak akan berpengaruh bagi kehidupannya.

Saat saya ada disana saya sedih dan kesal. Namun, ini mungkin satu momen untuk membuka pikiran, untuk menyadari. Betapa beruntungnya saya sebagai manusia, bisa melihat dunia, bisa berkeliling, bisa tahu lebih dari apa yang ada di dalam kotak.

Afghanistan team
Pak Tohir (driver di Kabul), saya, Desi Fitriani dan Qadir

Setiap saya mengalami masa buruk di hidup saya, I realized that Hamshi experienced worse than me. Memang di atas gunung masih ada langit, agar kita terus punya tujuan, namun di bawah bumi yang kita pijak, ada sisi lain di bawahnya. Dengan melihat apa yang terjadi dan dialami manusia lain, kita diingatkan untuk terus bersyukur, memiliki nasib yang lebih baik, dilahirkan dengan kondisi dan keadaan yang lebih baik, dan terutama bersyukur karena masih punya pilihan dalam hidup.

@marischkaprue - trully blessed


You can see our coverage video here, but no story and pictures of Hamshi:

 

 The refugees in Afghanistan, reporter: Marischka Prudence, cameraperson: Sadudin Mukhlis


*Fixer adalah orang lokal yang kami sewa jasanya untuk membantu kami dalam peliputan, juga sebagai penerjemah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar