Suasana di Kabul, Afghanistan |
Hampir lima tahun hidup saya berubah dari manusia normal
yang tinggal di kota besar menjadi seseorang yang punya kesempatan berkeliling
melihat banyak lokasi, banyak masyarakat, melihat dari berbagai sisi kehidupan.
Sejak bekerja sebagai jurnalis, saya memang banyak berkeliling,
mulai dari liputan di tempat mewah, ketemu pejabat hingga pemulung, masuk hotel
bintang lima hingga ke daerah kumuh.
Seringkali ada beberapa momen yang menyentil hati saya,
membuat saya sadar untuk terus mensyukuri hidup, menyadari berapa beruntungnya
saya sebagai manusia dan masih banyak yang kehidupannya tidak dapat kita
bayangkan jika harus kita alami.
Tahun 2011. Saya dan tim dari Metro Tv melakukan peliputan
ke Afghanistan, tidak lama, hanya sekitar dua minggu kami berkeliling area
Kabul, Ibukota Afghanistan. Akan cukup lama jika saya menceritakan kondisi
disana saat itu, mari langsung ke satu daerah yang berjarak sekitar enam
kilometer dari pusat kota Kabul.
Rumah rumah pengungsian dari material seadanya |
Anak anak di Afghanistan |
Char-i-Kambar
adalah area pengungsian di pinggiran kota Kabul. Disini bernaung sekitar 900
keluarga dengan fasilitas seadanya. Sebagian besar pengungsi berasal dari
daerah rawan di bagian selatan Afghanistan, mereka memilih hidup di pengungsian
karena khawatir dengan konflik yang terus terjadi di daerah asal mereka. Saat
saya masuk ke area ini, puluhan anak kecil langsung mengerubuti kami, meminta
uang. Fixer* kami saat itu, Qadir,
langsung mengusir anak anak tersebut dalam bahasa lokal.
Mata saya langsung melihat area yang seperti tertutup pasir,
bangunan yang ada benar benar dibuat dari pasir dan tanah seadanya. Mereka
bahkan tidak menggunakan semen untuk membuat bangunan disana. Wajar saja, semen
darimana, dan kalau adapun harganya pasti mahal.
Kami berkeliling sambil terus mencari tahu berbagai hal,
dengan Qadir sebagai penerjemah kami. Nah, di satu "rumah"
pengungsian, saya masuk, sudah ada Qadir di dalamnya.
Bangunan ini tidak seperti rumah, hanya tembok dari pasir
setinggi dua meter, dan di dalamnya ada ruangan kecil seperti gua, tanpa pintu
dan hanya ditutup kain. Di ruangan inilah mereka tidur dan beraktivitas.
Ada satu anak perempuan, Hamshi, umurnya sekitar 6 tahun.
Saya minta Qadir bertanya pada dia, apa yang ia harapkan mengingat situasi yang
masih cukup tegang di Afghanistan. "Tidak ada" hanya itu jawaban dari
anak bermata biru tersebut.
Saya yang tidak puas dengan jawabannya kembali meminta Qadir
bertanya. Hamshi menjawab panjang, saya harus menunggu Qadir menerjemahkannya
untuk saya. Dan apa yang dikatakan Qadir kemudian sangat menyentuh hati saya.
Hamshi, dalam enam tahun hidupnya, tidak pernah keluar dari
pagar rumahnya. Kalau saya hitung, ia hanya bisa bergerak di area seluas 3 x 5
meter. Tidak pernah tahu apa yang ada di luar, bahkan di luar rumahnya, bahkan
untuk bertemu sesama pengungsi yang ada di tempat yang sama.
Di Afghanistan, masih ada beberapa orang yang melakukan
aturan yang bagi saya sangat menyiksa Hamshi. Karena ia adalah anak perempuan,
ia tidak boleh keluar dari rumahnya. Sejak lahir ia terus ada disitu, hanya
berinteraksi dengan keluarganya, hanya bisa memandang langit yang kadang biru,
kadang mendung, kadang berawan dan kadang hujan. Ia tidak tahu ada jalanan yang
beraspal, ada mobil di luar sana, ada birunya sungai dan hijaunya pohon.
Pantas saja ia menjawab "tidak ada" untuk
pertanyaan saya. Bagi Hamshi, hidup memang seperti itu, sejak lahir. Ia tidak
tahu ada sesuatu di luar sana, dan jika ia tidak tahu tentu ia tidak bisa
menginginkan sesuatu yang ia tidak ketahui.
Saya benar benar tidak dapat membayangkan hidup seperti itu.
Apa yang ia lakukan setiap hari? menatap langit? sampai kapan? Tuhan memberi
keindahan yang luar biasa, dan ia hanya bisa melihat di ukuran 3 x 5 meter
dengan dinding pasir. Ingin rasanya saya protes pada Tuhan, kenapa anak ini
bisa punya kehidupan seperti ini, ia tidak salah apa apa dan harus hidup di
dalam kotak.
Namun, bagi Hamshi, kehidupan yang ia jalani bukan kehidupan
yang ia keluhkan. Baginya, hidup normal seperti itu, ia bisa tersenyum,
bercanda dengan keluarganya meski dari kacamata kita, hidupnya sangat
menderita.
Sedih rasanya tidak bisa melakukan apapun untuk gadis kecil
ini. Kami hanya bisa memberi uang seadanya yang menurut saya juga tidak akan
berpengaruh bagi kehidupannya.
Saat saya ada disana saya sedih dan kesal. Namun, ini
mungkin satu momen untuk membuka pikiran, untuk menyadari. Betapa beruntungnya
saya sebagai manusia, bisa melihat dunia, bisa berkeliling, bisa tahu lebih
dari apa yang ada di dalam kotak.
Pak Tohir (driver di Kabul), saya, Desi Fitriani dan Qadir |
Setiap saya mengalami masa buruk di hidup saya, I realized that Hamshi experienced worse
than me. Memang di atas gunung masih ada langit, agar kita terus punya
tujuan, namun di bawah bumi yang kita pijak, ada sisi lain di bawahnya. Dengan
melihat apa yang terjadi dan dialami manusia lain, kita diingatkan untuk terus
bersyukur, memiliki nasib yang lebih baik, dilahirkan dengan kondisi dan
keadaan yang lebih baik, dan terutama bersyukur karena masih punya pilihan
dalam hidup.
@marischkaprue - trully blessed
You can see our coverage video here, but no story and
pictures of Hamshi:
The refugees in Afghanistan, reporter: Marischka Prudence, cameraperson: Sadudin Mukhlis
*Fixer adalah orang lokal yang kami sewa jasanya untuk
membantu kami dalam peliputan, juga sebagai penerjemah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar