Keunikan utama dari masyarakat Toraja adalah bagaimana
mereka memandang kematian. Bagi penduduk Toraja, kematian bukanlah akhir, namun
awal dari perjalanan di dunia setelah raga ditinggalkan.
Kepercayaan dan bagaimana masyarakat Toraja memandang
kematian memberikan dampak yang besar dalam bagaimana mereka memperlakukan
ritual kematian, katakan saja pemakaman. Bila bagi sebagian besar dari kita,
kematian selalu beriringan dengan duka dan dilakukan secara sederhana, bagi
masyarakat Toraja kematian dianggap sebagai “pesta” dan dilakukan secara besar
besaran dalam upacara “Rambu Solo.”
Namun sebelum melihat upacara besar yang terus berlangsung
hingga kini, mari menelisik sedikit ke belakang, ke masa ratusan tahun lalu
saat seseorang yang bernama Panimba mengumpulkan saudara saudaranya, membangun
rumah bersama dan menjadi satu kompleks rumah adat Toraja yang tertua .
Kete Kesu terletak di Toraja Utara. Ini adalah salah satu
lokasi yang selalu jadi tempat turis datang jika berkunjung ke Toraja. “Rumah
yang paling awal itu yang di ujung,” ujar Baso Rantekesu, penduduk yang tinggal
di Kete Kesu.
“Dahulu Panimba jadi semacam kepala distrik, saudara
dikumpulkan supaya kalau ada apa apa cepat berkumpul,” ujarnya menjelaskan awal
mula rentetan Tongkonan (rumah adat Toraja) ini ada di Kete Kesu. Sebelum desa
desa semacam ini bermunculan, masyarakat Toraja membangun rumahnya di area
pegunungan, masa berganti dan mereka mulai membangun rumah di satu area,
menjadi distrik distrik kecil dengan system kemasyarakatan.
Tongkonan menarik untuk diperhatikan. Bangunan dengan atap
yang menjulang tinggi, dengan bermacam ukiran di berbagai elemen kayu. “Ayam
melambangkan hakim, dahulu jika ada yang bersengketa maka mereka akan mengadu
ayam, yang ayamnya menang, itu yang akan dimenangkan,” Baso Rantekesu
menjelaskan pada saya mengapa ada symbol ayam di setiap dinding kayu di bagian
atas bangunan. Hmm, memang mengadu ayam bukan cara terbaik mendapatkan keadilan
hakim menurut logika saya, tapi mengetahui bagaimana penduduk Toraja
bermasyarakat dahulu sangat menarik.
Saya dan Pak Baso Rantekesu |
Di bawah ukiran ayam, selalu ada corak bulat, lingkaran. Ini
melambangkan Ketuhanan bagi masyarakat Toraja. “Apapun kekuasaan manusia, Tuhan
di atas,” tambah Baso Rantekesu.
Ada banyak sekali corak ukiran di Tongkonan dan semuanya
memiliki arti, mulai dari lingkaran spiral yang ternyata melambangkan tanaman
yang biasa mereka panen, hingga corak abstrak yang ternyata melambangkan
kerbau.
Ah, bicara soal kerbau, jika anda perhatikan ada satu hal
yang seringkali ada di tongkonan, yaitu deretan kepala kerbau di tiang bagian
depan. Saya mendengar kepala kerbau yang dijajarkan ini melambangkan status
social, semakin banyak maka semakin tinggi status sosial seseorang. “Ini berupa
kenangan, sudah kebiasaan diletakkan seperti itu,” tambah Baso Rantekesu
menunjuk jajaran kepala kerbau tersebut.
Patane dengan Tau Tau di bagian depan |
Namun bagian paling menarik dari Kete Kesu bukan terletak di
depan, namun anda mesti berjalan ke area belakang, ke arah tebing batu yang
hanya berjarak 10 menit berjalan kaki dari area Tongkonan.
Di area ini ada banyak makam, baik dari segi ragam ataupun
jumlah makam. Makam modern di Toraja sudah berupa bangunan, ini dinamakan
Patane. Biasanya di depan Patane terdapat boneka yang dibentuk mirip dengan
almarhum. Boneka ini dinamakan Tau Tau dan menjadi ciri makam Toraja.
Erong |
Namun sebelum masyarakat Toraja membangun makam dalam bentuk
Patane, jenazah dahulu diletakkan di peti kayu dan kemudian peti kayu ini
diletakkan di dinding batu yang telah dilubangi terlebih dahulu. Makam dengan
peti kayu ini dimanamakan Erong, dan merupakan bentuk makam paling awal, bahkan
sebelum liang pahat.
Alasan jenazah diletakkan di dinding batu adalah untuk
menjaga barang barang berharga yang biasanya diletakkan bersama dengan jenazah
di peti kayu, serta diletakkan di lubang di tebing batu agar sulit diambil. Ini
berlaku untuk mencegah pencuri ataupun binatang liar yang seringkali merusak
makam.
Banyak tulang belulang berserakan disini |
Di area makam Kete Kesu, banyak sekali tulang belulang dan
tengkorak yang seakan akan berserakan. Sebagian jenazah dahulu juga diletakkan
begitu saja, hingga menjadi tulang.
Ada satu hal lagi yang menarik disini, anda akan menemukan
satu ruangan yang dibatasi teralis besi. Di dalam ruangan itu terdapat banyak
Tau Tau, boneka yang merepresentasikan jenazah.
Tau Tau |
Saya di depan ruangan berteralis tempat Tau Tau disimpan |
Saya melihat boneka berderet di dalam ruangan tersebut.
Meski teralis digembok, saya dapat memperhatikan Tau Tau mulai dari yang
terlihat sangat tua karena belum berbentuk bagus, masih pahatan tradisional
sekali, hingga Tau Tau yang wajahnya benar benar menyerupai orang.
Rupanya beberapa kali Tau Tau ini dicuri, dibawa keluar
negeri dan dijual. Inilah yang menyebabkan masyarakat Kete Kesu mesti
memproteksi Tau Tau yang ada dengan meletakkan di dalam ruangan berteralis.
Bagi mereka Tau Tau adalah kenangan, representasi dari
keluarga yang telah meninggal. Kadangkala di saat saat tertentu, baju yang
dipakai Tau Tau ini diganti dengan yang baru, Tau Tau dirawat layaknya
keluarga.
Saya membayangkan apa rasanya jika kenangan akan keluarga
yang meninggal dicuri orang. Mungkin bagi kita yang awam, Tau Tau hanya boneka,
karena itulah banyak tangan tangan jahil yang mengambil seenaknya, mencuri
untuk dijual karena bagi beberapa kolektor Tau Tau bisa dihargai cukup mahal.
Namun, apakah harga sebanding dengan memori? They said memory is priceless, a glimpse of sweet past is something you
can’t trade with money. Semoga kita bisa lebih menghargai adat, budaya dan
apa yang dipercaya masyarakat yang hidup dengan cara yang cukup berbeda dari
kita.
Experiences is also priceless! |
@marischkaprue – will
travel a lot before the death coming
Semoga lestari, karena jika bukan karena alam yang indah, tentu budaya dan adat yang bisa menimbulkan kesan mendalam bagi pejalan, salam...
BalasHapusthe Torajans approach death in a very different way ... a different perspective..
BalasHapusbeberapa waktu lalu sempat ke Makassar, mau berkunjung ke Tana Toraja... Tapi urung karena sewa mobil-tour guide di sana mahal banget per harinya :| sementara saya cuma berdua..
BalasHapushopefully, i can visit this cool place in the future :)
Blognya keren banget Prue :)
BalasHapusmo bantu dikit buat Lynn..
Sebenernya bisa kok ke Toraja (dari Makassar) dengan biaya nggak terlalu mahal dan nggak terlalu lama disana, nggak perlu nginep malah. Penjelasan lebih lengkapnya bisa baca disini :http://widyaps.wordpress.com/2013/04/10/menuju-toraja-2d1n/
Semoga bisa jadi alternatif :)
masih banyak tempat dan budaya menarik di toraja, prue bisa datang lagi..siap jadi guide
BalasHapusSoal upacara kematian
BalasHapusToraja emang yang paling berkesan di Indonesia
Bisa bertahun-tahun tuh sejak meninggal hingga dikuburkan
Adat istiadat seperti inilah yang membuat Indonesia kaya