Saya sadar, membandingkan Jakarta dengan Copenhagen bagaikan
membandingkan dua hal yang bertentangan. Tiba di Copenhagen, Denmark, satu hal
yang pasti ditemui dimanapun, sepeda. Disaat masyarakat Jakarta berlomba
membeli mobil, masyarakat Copenhagen puas dengan sepeda.
Meski bersepeda, kaum muda Copenhagen tetap bergaya. Melihat
jalanan Copenhagen bagaikan melihat isi majalah fashion namun satu aksesoris
yang sama, sepeda.
Kota ini resmi menjadi Ibukota Denmark sejak tahun 1417. Copenhagen
adalah jembatan antara Laut Utara dengan Laut Baltik, menghubungkan Eropa
dengan Skandinavia. Sejarah panjang mewarnai Ibukota Denmark ini dengan
bangunan bersejarah, dan hingga kini deretan bangunan tua ini adalah kebanggaan
warga Copenhagen.
Gaya bersepeda sudah sedemikian tertanam pada masyarakat
Copenhagen dan bukan tanpa alasan, pemerintah memberlakukan aturan yang secara
tidak langsung menumbuhkan gaya hidup bersepeda.
Menemukan area parkir mobil di beberapa lokasi di pusat kota
Copenhagen sangat sulit. Selain itu, pajak kendaraan bermotor sangat tinggi.
Berbagai aturan pemerintah akhirnya memaksa warga memilih transportasi lain
yaitu sepeda.
Kompensasi dari pajak yang tinggi, berbagai fasilitas untuk
kenyamanan bersepeda diberikan. Hampir setiap jalanan memiliki jalur khusus
bagi pengendara sepeda. Jika anda bersepeda di kota ini, jangan takut dengan
mobil karena sepeda selalu didahulukan oleh kendaraan bermotor.
Aturan yang diberlakukan terbukti efektif mendorong warga
Copenhagen bersepeda. Total warga Copenhagen berkendara dengan sepeda sejauh
1,2 juta kilometer per tahunnya, atau setara dengan dua kali jarak bumi ke
bulan. Kebiasaan bersepeda ini otomatis menurunkan emisi gas buang dan
menghasilkan kualitas udara yang jauh lebih baik. Ditambah transportasi umum
seperti bus dan kereta dengan sistem yang tertata baik.
Memang, jumlah warga di Copenhagen hanya sebanyak 549 ribu
orang, atau kurang dari 5 persen populasi warga Jakarta. Mengatur Jakarta perlu
upaya yang berbeda dengan mengatur Copenhagen.
Ah, namun saya berandai andai saja, jika calon pemimpin
Jakarta nanti punya visi yang sedikit saja menyerupai misi pemimpin yang
membentuk kota Copenhagen. Intinya, membuat aturan yang memberi kenyamanan.
Jika pemerintah ingin mengurangi kendaraan pribadi, ciptakan sistem
transportasi umum yang murah dan nyaman.
Kami penghuni Ibukota juga sudah jenuh dengan kemacetan,
jika ada transportasi umum yang murah, aman, nyaman tentu kami akan beralih.
Namun saat ini, katakan saja warga Jakarta tidak punya banyak pilihan, atau
bahkan tidak punya pilihan.
**photos by Gandis Rahma**
rasanya tak akan ada pemimpin Jakarta yang punya visi untuk mengurangi kendaraan pribadi. ada banyak orang yang mendapatkan keuntungan dengan banyaknya (dan semakin bertambahnya) kendaraan di Jakarta yang pasti menghalangi.
BalasHapus