Pages - Menu

23 November 2012

Road To Peace


Hidup itu siklus. Ya, perputaran yang terus terjadi dan berkesinambungan, dan sayangnya kita manusia tidak punya kuasa untuk menentukan kemana arah putaran tersebut.

Seringkali putaran hidup itu seakan lelucon yang tidak lucu, kita sering memaki Tuhan karena memberikan posisi tidak enak, membuat kita galau tingkat dewa dan resah gelisah. Dua kata, tidak enak.

Kalau saya dan teman teman berkumpul, obrolan biasanya tidak jauh dari urusan kerjaan, gosip dan pria pria di kehidupan kami. Bagaikan siklus, sosok sosok yang keluar masuk dalam kehidupan ini selalu memberi atau bahkan mengambil bagian hati dan memori kita.

Sebagian, keluar dari kehidupan kita dengan cara yang tidak enak, mengambil bagian dari hati, memberi sisa ruang kosong dan meninggalkan memori yang rasanya, pedih Jendral!

Nah kemudian kalau galau ini sudah bertahta, sulit sekali meruntuhkannya. Saya pernah mendengar seseorang berkata "Perlu waktu rata rata 17 bulan dan 26 hari untuk melewati galau karena mantan," saya bahkan menyimpan kata kata itu untuk menghitung berapa lama saya butuhkan untuk berhenti galau.

 
Dan ternyata proses itu memang panjang, saya melewati waktu dengan berbagai cara, tapi sepertinya selalu ada rasa seperti beban yang masih melekat. Kemudian saya semakin menyibukkan diri, berkelana dari satu daerah ke daerah lain, namun saat kembali ke Jakarta, same shit same story still there in my mind and heart.

Waktu bergulir, kemudian datang satu hal. Gunung. Yap, gunung dan pendakian. Sebelumnya saya sudah pernah cerita bagaimana saya akhirnya masuk dalam dunia pendakian, dan meski pemula namun saya bisa berkata saya sudah ke puncak beberapa gunung dengan upaya keras saat mendaki.

Lalu apa hubungannya gunung dengan galau? mungkin anda bertanya seperti itu saat ini. Hmm, let me say, mendaki itu penuh filosofi. Mungkin karena jalur mendaki begitu berat, summit attack atau saat menuju puncak itu penuh perjuangan.

Saat saya summit attack di pendakian terakhir, angin bertiup sangat kencang, rupanya badai (saya baru tahu saat sudah turun), badan rasanya mati rasa tapi saya terus melihat puncak dan terus bergerak naik. Yang ada di pikiran saya cuma satu, saya sudah memulai dan harus menyelesaikan ini.

Berjam jam kemudian saya ada di atas, sampai di puncak dan semua rasa lelah itu hilang. Kepuasan terbesar mendaki bagi saya bukan keindahan saat di atas meski memang luar biasa pemandangannya, tapi kepuasan melewati rintangan yang terkadang berat karena apa yang ada di pikiran kita.

Amazing feeling being on top of Rinjani
Saat saya di puncak gunung saya berkata kepada diri saya sendiri "I can get through this, I can get through anything else, bring it on God," Dan saya pulang ke Jakarta dengan rasa lega, mungkin saya sudah bisa berdamai dengan diri sendiri.

Saya bercerita ini bukan berarti kalau galau obatnya naik gunung, mungkin bagi orang lain malah semakin galau. Namun, hal hal baru dalam kehidupan bisa memberikan kita pandangan yang berbeda, mengobati apa yang tidak selesai dengan rutinitas.

So please, if you're feeling down, go out, do something new, find where your heart belong and just embrace it.

@marischkaprue - found happiness after successfully make peace with herself on top of the mountain.

*As published on Divemag Indonesia Vol. 3 No 031, October 2012

RELATED STORIES:
   

3 komentar: