Hidup itu siklus. Ya, perputaran yang terus terjadi dan
berkesinambungan, dan sayangnya kita manusia tidak punya kuasa untuk menentukan
kemana arah putaran tersebut.
Seringkali putaran hidup itu seakan lelucon yang tidak lucu,
kita sering memaki Tuhan karena memberikan posisi tidak enak, membuat kita
galau tingkat dewa dan resah gelisah. Dua kata, tidak enak.
Kalau saya dan teman teman berkumpul, obrolan biasanya tidak
jauh dari urusan kerjaan, gosip dan pria pria di kehidupan kami. Bagaikan
siklus, sosok sosok yang keluar masuk dalam kehidupan ini selalu memberi atau
bahkan mengambil bagian hati dan memori kita.
Sebagian, keluar dari kehidupan kita dengan cara yang tidak
enak, mengambil bagian dari hati, memberi sisa ruang kosong dan meninggalkan
memori yang rasanya, pedih Jendral!
Nah kemudian kalau galau ini sudah bertahta, sulit sekali
meruntuhkannya. Saya pernah mendengar seseorang berkata "Perlu waktu rata
rata 17 bulan dan 26 hari untuk melewati galau karena mantan," saya bahkan
menyimpan kata kata itu untuk menghitung berapa lama saya butuhkan untuk
berhenti galau.
Dan ternyata proses itu memang panjang, saya melewati waktu
dengan berbagai cara, tapi sepertinya selalu ada rasa seperti beban yang masih
melekat. Kemudian saya semakin menyibukkan diri, berkelana dari satu daerah ke
daerah lain, namun saat kembali ke Jakarta, same
shit same story still there in my mind and heart.
Waktu bergulir, kemudian datang satu hal. Gunung. Yap,
gunung dan pendakian. Sebelumnya saya sudah pernah cerita bagaimana saya
akhirnya masuk dalam dunia pendakian, dan meski pemula namun saya bisa berkata
saya sudah ke puncak beberapa gunung dengan upaya keras saat mendaki.
Lalu apa hubungannya gunung dengan galau? mungkin anda
bertanya seperti itu saat ini. Hmm, let
me say, mendaki itu penuh filosofi. Mungkin karena jalur mendaki begitu
berat, summit attack atau saat menuju
puncak itu penuh perjuangan.
Saat saya summit
attack di pendakian terakhir, angin bertiup sangat kencang, rupanya badai
(saya baru tahu saat sudah turun), badan rasanya mati rasa tapi saya terus
melihat puncak dan terus bergerak naik. Yang ada di pikiran saya cuma satu,
saya sudah memulai dan harus menyelesaikan ini.
Berjam jam kemudian saya ada di atas, sampai di puncak dan
semua rasa lelah itu hilang. Kepuasan terbesar mendaki bagi saya bukan
keindahan saat di atas meski memang luar biasa pemandangannya, tapi kepuasan
melewati rintangan yang terkadang berat karena apa yang ada di pikiran kita.
Amazing feeling being on top of Rinjani |
Saat saya di puncak gunung saya berkata kepada diri saya
sendiri "I can get through this, I
can get through anything else, bring it on God," Dan saya pulang ke
Jakarta dengan rasa lega, mungkin saya sudah bisa berdamai dengan diri sendiri.
Saya bercerita ini bukan berarti kalau galau obatnya naik
gunung, mungkin bagi orang lain malah semakin galau. Namun, hal hal baru dalam
kehidupan bisa memberikan kita pandangan yang berbeda, mengobati apa yang tidak
selesai dengan rutinitas.
So please, if you're
feeling down, go out, do something new, find where your heart belong and just
embrace it.
@marischkaprue - found happiness after successfully make
peace with herself on top of the mountain.
*As published on Divemag Indonesia Vol. 3 No 031, October 2012
RELATED STORIES:
RELATED STORIES:
It's Rinjani.
BalasHapusI feel you prue
amazing..
BalasHapusAn honest story :)
BalasHapus