Pages - Menu

17 Maret 2013

10 Reasons Why You Should Try Cruising


Cruising is days of fun and relax combined. I tried cruising with Costa Cruise and spend around 5 days on Costa Victoria. So I highlighted why you should try cruising too:

  • You Have Open Ocean as Your Private View Everyday

  • When Will You Have Hotel Room Which Moves 23 Knot Per Hours?



  • The View From The Top is Amazing



  • Unlimited Supplies of Fine Dining

  • Party Happens Everyday
Party on deck 11 Rigoletto

  • Beautiful Italians on Show Everyday
"Rich and Famous" musical show on Festival Theatre

  • Because Italian Wines are Awesome

  • The Handsome Musician

  • Duty Free Shopping Areas


Bling bling on the shop
  • Because You Can Spend Money like Ocean Eleven
The Casino


With the Italian crew

@marischkaprue - cruising (hopefully) Italian style

NOTES:
  • Costa Victoria is cruising in Asia, from Shanghai, Cheju, Fukuoka and more places in Asia, visit Costa Cruise Asia for more details about the price and cruising trips.
  • For any enquiries, you can email to info-pao@costa.it
  • If you live in Indonesia, you can experience Costa with a little help from Panen Tour, +6221.3855388

15 Maret 2013

Kete Kesu dan Kematian, Story from Toraja



Keunikan utama dari masyarakat Toraja adalah bagaimana mereka memandang kematian. Bagi penduduk Toraja, kematian bukanlah akhir, namun awal dari perjalanan di dunia setelah raga ditinggalkan.

Kepercayaan dan bagaimana masyarakat Toraja memandang kematian memberikan dampak yang besar dalam bagaimana mereka memperlakukan ritual kematian, katakan saja pemakaman. Bila bagi sebagian besar dari kita, kematian selalu beriringan dengan duka dan dilakukan secara sederhana, bagi masyarakat Toraja kematian dianggap sebagai “pesta” dan dilakukan secara besar besaran dalam upacara “Rambu Solo.”

Namun sebelum melihat upacara besar yang terus berlangsung hingga kini, mari menelisik sedikit ke belakang, ke masa ratusan tahun lalu saat seseorang yang bernama Panimba mengumpulkan saudara saudaranya, membangun rumah bersama dan menjadi satu kompleks rumah adat Toraja yang tertua .


Kete Kesu terletak di Toraja Utara. Ini adalah salah satu lokasi yang selalu jadi tempat turis datang jika berkunjung ke Toraja. “Rumah yang paling awal itu yang di ujung,” ujar Baso Rantekesu, penduduk yang tinggal di Kete Kesu.

“Dahulu Panimba jadi semacam kepala distrik, saudara dikumpulkan supaya kalau ada apa apa cepat berkumpul,” ujarnya menjelaskan awal mula rentetan Tongkonan (rumah adat Toraja) ini ada di Kete Kesu. Sebelum desa desa semacam ini bermunculan, masyarakat Toraja membangun rumahnya di area pegunungan, masa berganti dan mereka mulai membangun rumah di satu area, menjadi distrik distrik kecil dengan system kemasyarakatan.

Tongkonan menarik untuk diperhatikan. Bangunan dengan atap yang menjulang tinggi, dengan bermacam ukiran di berbagai elemen kayu. “Ayam melambangkan hakim, dahulu jika ada yang bersengketa maka mereka akan mengadu ayam, yang ayamnya menang, itu yang akan dimenangkan,” Baso Rantekesu menjelaskan pada saya mengapa ada symbol ayam di setiap dinding kayu di bagian atas bangunan. Hmm, memang mengadu ayam bukan cara terbaik mendapatkan keadilan hakim menurut logika saya, tapi mengetahui bagaimana penduduk Toraja bermasyarakat dahulu sangat menarik.


Saya dan Pak Baso Rantekesu
Di bawah ukiran ayam, selalu ada corak bulat, lingkaran. Ini melambangkan Ketuhanan bagi masyarakat Toraja. “Apapun kekuasaan manusia, Tuhan di atas,” tambah Baso Rantekesu.

Ada banyak sekali corak ukiran di Tongkonan dan semuanya memiliki arti, mulai dari lingkaran spiral yang ternyata melambangkan tanaman yang biasa mereka panen, hingga corak abstrak yang ternyata melambangkan kerbau.

Ah, bicara soal kerbau, jika anda perhatikan ada satu hal yang seringkali ada di tongkonan, yaitu deretan kepala kerbau di tiang bagian depan. Saya mendengar kepala kerbau yang dijajarkan ini melambangkan status social, semakin banyak maka semakin tinggi status sosial seseorang. “Ini berupa kenangan, sudah kebiasaan diletakkan seperti itu,” tambah Baso Rantekesu menunjuk jajaran kepala kerbau tersebut.


Patane dengan Tau Tau di bagian depan
Namun bagian paling menarik dari Kete Kesu bukan terletak di depan, namun anda mesti berjalan ke area belakang, ke arah tebing batu yang hanya berjarak 10 menit berjalan kaki dari area Tongkonan.

Di area ini ada banyak makam, baik dari segi ragam ataupun jumlah makam. Makam modern di Toraja sudah berupa bangunan, ini dinamakan Patane. Biasanya di depan Patane terdapat boneka yang dibentuk mirip dengan almarhum. Boneka ini dinamakan Tau Tau dan menjadi ciri makam Toraja.

Erong
Erong
Namun sebelum masyarakat Toraja membangun makam dalam bentuk Patane, jenazah dahulu diletakkan di peti kayu dan kemudian peti kayu ini diletakkan di dinding batu yang telah dilubangi terlebih dahulu. Makam dengan peti kayu ini dimanamakan Erong, dan merupakan bentuk makam paling awal, bahkan sebelum liang pahat.

Alasan jenazah diletakkan di dinding batu adalah untuk menjaga barang barang berharga yang biasanya diletakkan bersama dengan jenazah di peti kayu, serta diletakkan di lubang di tebing batu agar sulit diambil. Ini berlaku untuk mencegah pencuri ataupun binatang liar yang seringkali merusak makam.


Banyak tulang belulang berserakan disini

Di area makam Kete Kesu, banyak sekali tulang belulang dan tengkorak yang seakan akan berserakan. Sebagian jenazah dahulu juga diletakkan begitu saja, hingga menjadi tulang.

Ada satu hal lagi yang menarik disini, anda akan menemukan satu ruangan yang dibatasi teralis besi. Di dalam ruangan itu terdapat banyak Tau Tau, boneka yang merepresentasikan jenazah.

Tau Tau Toraja
Tau Tau
Marischka Prudence
Saya di depan ruangan berteralis tempat Tau Tau disimpan
Saya melihat boneka berderet di dalam ruangan tersebut. Meski teralis digembok, saya dapat memperhatikan Tau Tau mulai dari yang terlihat sangat tua karena belum berbentuk bagus, masih pahatan tradisional sekali, hingga Tau Tau yang wajahnya benar benar menyerupai orang.

Rupanya beberapa kali Tau Tau ini dicuri, dibawa keluar negeri dan dijual. Inilah yang menyebabkan masyarakat Kete Kesu mesti memproteksi Tau Tau yang ada dengan meletakkan di dalam ruangan berteralis.

Bagi mereka Tau Tau adalah kenangan, representasi dari keluarga yang telah meninggal. Kadangkala di saat saat tertentu, baju yang dipakai Tau Tau ini diganti dengan yang baru, Tau Tau dirawat layaknya keluarga.

Saya membayangkan apa rasanya jika kenangan akan keluarga yang meninggal dicuri orang. Mungkin bagi kita yang awam, Tau Tau hanya boneka, karena itulah banyak tangan tangan jahil yang mengambil seenaknya, mencuri untuk dijual karena bagi beberapa kolektor Tau Tau bisa dihargai cukup mahal. Namun, apakah harga sebanding dengan memori? They said memory is priceless, a glimpse of sweet past is something you can’t trade with money. Semoga kita bisa lebih menghargai adat, budaya dan apa yang dipercaya masyarakat yang hidup dengan cara yang cukup berbeda dari kita.

Marischka Prudence
Experiences is also priceless!
@marischkaprue – will travel a lot before the death coming

9 Maret 2013

Vihara Dewi Kwan Im San, Belitung Timur


Vihara Dewi Kwan Im San atau Vihara Buddhayana terletak di Desa Burung Mandi, sangat berdekatan dengan pantai Burung Mandi di Kabupaten Belitung Timur. Tidak ada yang berbeda dari bentuk vihara ini dibandingkan dengan bentuk vihara pada umumnya, namun Vihara Dewi Kwan Im San merupakan salah satu Vihara tertua di Belitung, dengan usia hingga dua ratus tahun lebih.



Menuju Vihara ini hanya perlu sekitar 30 menit berkendara dari Kota Manggar di Belitung Timur. Di saat saat tertentu, anda juga bisa minta diramal disini.



Para "penjaga" Vihara Dewi Kwan Im San
He says hello :)
Dari area atas Vihara bisa lihat pemandangan ini

Jika datang ke Vihara ini jangan melewatkan lokasi yang paling atas dimana anda dapat melihat pemandangan Pantai Burung Mandi dan pepohonan yang menutupi bukit di area sebelum garis pantai. Simply relaxing!

Saya dan pemuda pemudi Belitung Timur yang menemani perjalanan saya :D

 @marischkaprue - constant traveler

RELATED STORIES:


8 Maret 2013

Pelangi di Budaya Jailolo


Setiap saya melontarkan kata "Jailolo" maka setelah itu pula saya harus menjelaskan apa dan dimana Jailolo. Nama ini terdengar asing bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Maklum, Jailolo belum menjadi destinasi wisata utama di timur Indonesia meskipun wilayah ini menyimpan potensi yang sangat besar.

Berulang kali saya menitipkan keingintahuan tentang Jailolo dalam bentuk tulisan di blog ini, berulang kali saya memposting foto foto dari tanah di Halmahera Barat ini.

Teluk Jailolo dilihat dari Bukit Manyasal
Jailolo hanya berjarak satu jam dari Ternate. Anda wajib menyeberang dengan perahu karena belum ada lapangan terbang di Jailolo. Meski tidak banyak dikenal, Jailolo punya peran penting dalam sejarah Indonesia. Maluku, terutama Jailolo adalah wilayah dengan alam kombinasi bukit, laut serta sumber rempah rempah. Inilah yang menarik minat bangsa bangsa Eropa datang ke Indonesia, ke timur Indonesia dimana rempah rempah begitu kaya, hingga Jailolo juga disebut "The Spice Island."


Namun satu hal yang membuat Jailolo begitu berwarna warni, bukan hanya biru laut dan hijaunya perbukitan, yaitu budaya penduduk lokalnya. Penduduk asli Jailolo terdiri dari berbagai suku lokal, mulai dari Sahu, Loloda, Tobaru, Ternate, Wayoli dan Gorep.

Ada ciri ciri khusus dalam berpakaian, mulai dari ikan kepala yang berwarna merah cerah dengan sedikit warna kuning bagi pria, hingga baju hitam dengan kain merah dan kuning yang disampirkan menyilang di pakaian perempuan Jailolo.



Kekayaan budaya Jailolo tidak hanya berupa warna. Ada banyak tarian tradisional disini yang masing masing melambangkan ekspresi dalam setiap hal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Jailolo, mulai dari Legu Legu yang melambangkan kegembiraan pemuda menyambut putri, hingga tarian Salai yang merupakan perayaan syukur sesudah panen.

Ritual mengganti bagian atas atap Sasadu

Masyarakat Jailolo menari di pesta adat
Suasana di dalam Sasadu saat pesta adat, dahulu perayaan ini berlangsung 7 hari.
Di bulan lima setiap tahunnya, masyarakat Jailolo bersuka cita, menyambut panen melimpah yang menghidupi masyarakat, menyambut berkah indahnya alam dari yang Maha Kuasa. Kemeriahan adalah kata yang tepat saat menyaksikan gempita teluk Jailolo di bulan Mei, di saat Festival Teluk Jailolo diselenggarakan.

Masih banyak keriaan adat Jailolo yang belum saya pahami, seperti alasan di balik pesta tujuh hari tujuh malam di rumah adat, atau tentang gerakan gerakan unik dalam tarian mereka.

Musik yanger
Namun keriaan Jailolo terasa universal, karena anda tidak perlu memahami benar untuk menikmati. Saya dapat terbuai ikut menari dalam lantunan musik dan lagu adat yang tidak saya pahami bahasanya. Saya hanya tahu ada tiga irama dalam musik Yanger, musik khas Jailolo. Mereka menyebut ketiga irama ini kore kore, ado ado dan silalar. Ketiganya adalah irama dengan ritme yang dinamis, sesuai dengan suasana keceriaan di saat panen.

Saya sudah cocok membaur disini tidak? :D
Cukup biarkan diri anda terbuai, tersenyum dan tertawa bersama, menikmati bahwa budaya berbeda bukan tercipta untuk mengkotak kotakkan manusia, tapi untuk terus bersyukur bahwa laut yang memisahkan banyak pulau memberi kekayaan ragam budaya untuk terus dinikmati.

@marischkaprue - not a culture expert

NOTES:
  • Untuk bisa menikmati pesta adat, jika hendak ke Jailolo, datang saat Festival Teluk Jailolo. Festival biasanya berlangsung di pertengahan bulan Mei.
RELATED STORIES: