Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

28 September 2011

Falling

my friend said to me..
why people have to call it falling..
why don't we just call that flying, she said..
cause she wants to be in control
control the heights, when to move up, add more height.. or when to get a bit lower, and to be back to the ground as she controls it..

but my dear, when u can control, that's not it..
it called falling cause mostly it hurts.., I said..
but we can't resist that.. it also feels like gravity took you down.. a force of nature, unexplainable.. even Einstein can't describe the right equation for this falling events..

but it depends.. will u fall into a soft-feather like-ground.. smooth.. and the land just embrace you well.. Just a right place to fall..
or might be.. we have to fall into the real hard ground..and it hurts.. so much..
but, again, time will heal.. bruises will fade..
and we'll stand up again,
even though I'll never forget which places took me down, got me fallen..
I just can't wait for my next fall..

cause.. the adrenaline rush, the chaotic on my cerebrum, my subliminal dreams, stomach discomfort, spontaneous blush, the dizzy dance..

all fabulous

I'm ready.. surprise me

20 September 2011

Slow waiting, Fast life


Apa pekerjaan wartawan? Melaporkan berita, menyampaikan fakta di lapangan? Yes. Tapi sebenarnya formula kerjaan kita yang paling besar porsinya itu menunggu. Yap, menunggu. Saat ada kasus besar, Dang, memang kekacauan, intensi adrenalin yang tinggi misalnya saat ada bom atau teroris digerebek, wartawan langsung gerubukan ke lokasi dan melakukan apa yang anda lihat di televisi, melaporkan kejadian.

Namun, saat saat lain, berdasarkan analisis sotoy saya, sekitar 70% waktu untuk menunggu. Menunggu hasil Rapat Dengar Pendapat di DPR, menunggu narasumber yang lagi meeting sebelum bisa di SOT (Sound on Tape) – istilah kita untuk statement yang direkam, menunggu pihak yang akan diperiksa KPK – dan bahkan- setelah yang akan diperiksa itu datang kita kembali menunggu doi selesai diperiksa, menunggu statement dari pimpinan atau jubir KPK tentang pemeriksaan, menunggu sidang yang kadang ngga jelas kapan mulainya, dan bahkan menunggu narasumber dandan sebelum dia mau di wawancara (yes, saya pernah mengalami menunggu narsum cantik yang ngga pede kalo ngga dandan tebel sebelom diwawancara).

Jadi jangan salahkan kami para pekerja pers kalau punya kebiasaan selonjoran seenaknya dimanapun kapanpun. Di KPK misalnya, kalau anda pernah kesana pasti liat pasukan newsperson ini pada duduk duduk di kursi, sebagian duduk di lantai bawah depan lobby tempat mobil lewat. Kalau masuk lebih ke dalam, sebagian sudah dalam posisi lebih nyaman lagi menunggunya, dari duduk miring sampai tiduran di lantai. Hal yang sama berlaku di DPR, Mabes Polri, dan lokasi lokasi lain, dimanapun kami harus menunggu.

Jujur aja, siapa sih yang seneng nunggu? Ngga ada kan, nungguin temen yang dateng janjian telat aja malesin banget, apalagi nunggu berjam jam untuk sesuatu yang kadang kita ngga tau pasti juga. Saya paling sebel nunggu “kemungkinan.” Misalnya, kemungkinan si anu dateng kesini, kemungkinan si anu ada di rumahnya, kemungkinan si anu bakal kasih statement penting, kemungkinan presiden kasih statement heboh.. dan ternyata hasilnya ngga layak dijadiin berita alias ngga penting. Tapi ya namanya juga itu porsi kerjaan wartawan. Lama lama badan ama otak ama mood ini beradaptasi sama tugas mulia menunggu itu, ciri cirinya jadi bisa membuat posisi enak dimanapun, ngobrol dari a ampe z ama temen temen wartawan lain supaya ngga bosen, ngutik bb dan twitteran (I sure does kill time for me), sampe kebiasaan masukin perkakas yang banyak banget ke tas supaya banyak “peralatan” atau gadget menunggu.
\
Untuk statement seseorang yang tayang semenit, kadang perlu seharian – atau bahkan lebih mengejar ybs sampai pita suaranya mau berbaik hati keluarin vokal di depan mike atau recorder wartawan. Jadi bayangkan berapa banyak waktu yang dihabiskan buat menunggu tiap harinya. Hmm.. pastinya lamaaaaaa…..

#ihateslow

, , ,

Life is A Festival Of Change

 
Ada teman saya yang kerjaannya mengeluh terus. Semua hal dalam hidupnya adalah drama yang tidak pernah berakhir. Hari berganti hari, seiring roda kehidupannya berputar, celotehannya tetap sama, bahwa dunia memperlakukannya dengan kejam.

Saya minta dia berkaca, saya tanya apa yang ia lihat. Seperti yang saya duga, ia mengeluhkan pipinya yang semakin chubby, jerawatnya yang bertambah, semua hal yang ia tidak sukai. Kemudian saya tunjuk giginya yang rata, rambutnya yang hitam legam dan bersinar layaknya bintang iklan shampoo.

Saya katakan lagi, bahwa dua tahun lalu giginya tidak rapih, ia sukses membelit giginya dengan kawat hingga tersusun sempurna. Rambutnya dulu coklat, warna yang sekarang membuat kulitnya terlihat lebih sehat. Intinya dia bahkan terlihat lebih baik dibanding dua tahun lalu.

My dear, perubahan itu akan selalu ada tapi mindset kita yang akan menentukan apakah perubahan berupa hal yang positif, atau tidak. Seseorang bisa berubah tapi kalau dirinya sendiri tidak merangkul transformasi yang terjadi maka semua itu akan jadi garis yang tidak berarti di hidupnya.

Anda bisa saja punya karir cemerlang, wajah dan body yang membuat semua mata melirik, tapi jika anda sendiri tidak menikmati perubahan itu dan hanya melihat sisi negatif, apa gunanya?

Layaknya roda, kita harus berputar 90' dulu baru bisa ke 180' dan menikmati posisi yang lebih baik. Proses adalah hal yang indah, dan layak dinikmati. Manusia dari masa ke masa tidak akan bertahan jika tanpa perubahan, tanpa evolusi.

Jadi mari coba melihat putaran garis kosmik ini sebagai tempat kita menorehkan mimpi yang positif, ditambah kerja keras. Bila kita punya mimpi dan upaya, as the infamous people said, "nothing is impossible".

Mari terus berubah, terus berevolusi dan rayakan semua itu sebagai festival hidup anda. Cheers!



As published on Divemag Indonesia Vol. 2 No.016, June 2011

,

Broken Heart, Broken Bones


Saya selalu mengibaratkan hidup ini sebagai perjalanan, kadang kita punya tujuan ke satu titik, namun di tengah kita bertemu seseorang yang dapat mengubah tujuan kita 180 derajat. Kemudian kita sadari, apa yg kita inginkan bukanlah lokasi akhir namun perjalanan dengan seseorang tersebut.

Kadang pula, karena satu dan lain hal, kita harus kembali berjalan sendiri. Melepaskan pasangan yang telah kita percaya untuk berjalan bersama, rasanya luar binasa alias sakit hati tahap kronis yang berujung kegalauan tiada tara.

Kebetulan saya dan beberapa teman mengalami hal serupa. Selain jadi barisan galau, kami juga mencoba merumuskan resep resep anti sakit hati. Mulai dari apa yang kita sahkan dengan istilah "pengalihan isu", yaitu mengencani pria yang ada (selama masih masuk kriteria wajar) ,melampiaskan napsu meski chemistry tidak ada.

Sebagian dari kami melakukan rumus lain, matematika sakit hatinya begini: intensitas sakit hati sebanding dengan intensitas pengeluaran uang untuk belanja tidak penting. Ada teman yang keluarkan 5 juta sehari setelah diputuskan oleh pacarnya, maka wajar kami berkata "Sakit hati itu mahal, Jendral!"

Lalu ada juga yang melarikan diri ke aktivitas lain, mulai jadi penggila fitness, atau membenamkan diri dalam pekerjaan. Namun saat semua upaya dilewati, kegalauan itu tetap berkibar di ranah timeline twitter. Makanya ada istilah Waktu Bagian Galau.

Jadi apa yang salah? Daya upaya keringat dan kocek sudah diperas habis habisan tapi hati ini masih cenat cenut. Semua cara sebenarnya sama saja, kami cuma berusaha mengalihkan perhatian dan energi dari rasa sakit, tapi saat berbalik kita akan kembali merasakan kekosongan itu.

If you ask me, what are the tips for fixing a broken heart? I certainly cannot answer, nobody can. Sakit hati itu tidak bisa disembuhkan secara instant. Layaknya saat kita jatuh cinta, perasaan bukanlah molekul yang dapat kita kontrol. Manusia hanya bisa berserah, terus menjalani hidup dan waktu yang akan menutup luka itu.

Namun ada satu tips, atau fakta yang saya setuju. Once i asked, "how many men a girl must get through to fix a broken heart?," then the answer is "One, the right one". Jadi, para pemegang kartu anggota galau, penderita sakit hati baik stadium satu ataupun kronis kritis, mari bersabar dan jangan menutup diri. Anda tidak tahu kapan the right one yang dapat menutup luka itu akan datang.

Well, sambil menunggu, tidak ada salahnya anda percepat putaran waktu dengan menyibukkan diri, menikmati kumpul dan menggila dengan teman, and of course a glass of wine or martini will do a little help. Then again, remember, don't let the broken heart makes you broke.

Whatever happen, this world keeps on spinning, so why can't we? Keep standing tall, friends!!!

@marischkaprue - a broken heart female with strong bones

As published on Divemag Indonesia Vol.2, July 2011

RELATED STORIES: