Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

15 Maret 2013

, , , , , , , , , , ,

Kete Kesu dan Kematian, Story from Toraja

Share


Keunikan utama dari masyarakat Toraja adalah bagaimana mereka memandang kematian. Bagi penduduk Toraja, kematian bukanlah akhir, namun awal dari perjalanan di dunia setelah raga ditinggalkan.

Kepercayaan dan bagaimana masyarakat Toraja memandang kematian memberikan dampak yang besar dalam bagaimana mereka memperlakukan ritual kematian, katakan saja pemakaman. Bila bagi sebagian besar dari kita, kematian selalu beriringan dengan duka dan dilakukan secara sederhana, bagi masyarakat Toraja kematian dianggap sebagai “pesta” dan dilakukan secara besar besaran dalam upacara “Rambu Solo.”

Namun sebelum melihat upacara besar yang terus berlangsung hingga kini, mari menelisik sedikit ke belakang, ke masa ratusan tahun lalu saat seseorang yang bernama Panimba mengumpulkan saudara saudaranya, membangun rumah bersama dan menjadi satu kompleks rumah adat Toraja yang tertua .


Kete Kesu terletak di Toraja Utara. Ini adalah salah satu lokasi yang selalu jadi tempat turis datang jika berkunjung ke Toraja. “Rumah yang paling awal itu yang di ujung,” ujar Baso Rantekesu, penduduk yang tinggal di Kete Kesu.

“Dahulu Panimba jadi semacam kepala distrik, saudara dikumpulkan supaya kalau ada apa apa cepat berkumpul,” ujarnya menjelaskan awal mula rentetan Tongkonan (rumah adat Toraja) ini ada di Kete Kesu. Sebelum desa desa semacam ini bermunculan, masyarakat Toraja membangun rumahnya di area pegunungan, masa berganti dan mereka mulai membangun rumah di satu area, menjadi distrik distrik kecil dengan system kemasyarakatan.

Tongkonan menarik untuk diperhatikan. Bangunan dengan atap yang menjulang tinggi, dengan bermacam ukiran di berbagai elemen kayu. “Ayam melambangkan hakim, dahulu jika ada yang bersengketa maka mereka akan mengadu ayam, yang ayamnya menang, itu yang akan dimenangkan,” Baso Rantekesu menjelaskan pada saya mengapa ada symbol ayam di setiap dinding kayu di bagian atas bangunan. Hmm, memang mengadu ayam bukan cara terbaik mendapatkan keadilan hakim menurut logika saya, tapi mengetahui bagaimana penduduk Toraja bermasyarakat dahulu sangat menarik.


Saya dan Pak Baso Rantekesu
Di bawah ukiran ayam, selalu ada corak bulat, lingkaran. Ini melambangkan Ketuhanan bagi masyarakat Toraja. “Apapun kekuasaan manusia, Tuhan di atas,” tambah Baso Rantekesu.

Ada banyak sekali corak ukiran di Tongkonan dan semuanya memiliki arti, mulai dari lingkaran spiral yang ternyata melambangkan tanaman yang biasa mereka panen, hingga corak abstrak yang ternyata melambangkan kerbau.

Ah, bicara soal kerbau, jika anda perhatikan ada satu hal yang seringkali ada di tongkonan, yaitu deretan kepala kerbau di tiang bagian depan. Saya mendengar kepala kerbau yang dijajarkan ini melambangkan status social, semakin banyak maka semakin tinggi status sosial seseorang. “Ini berupa kenangan, sudah kebiasaan diletakkan seperti itu,” tambah Baso Rantekesu menunjuk jajaran kepala kerbau tersebut.


Patane dengan Tau Tau di bagian depan
Namun bagian paling menarik dari Kete Kesu bukan terletak di depan, namun anda mesti berjalan ke area belakang, ke arah tebing batu yang hanya berjarak 10 menit berjalan kaki dari area Tongkonan.

Di area ini ada banyak makam, baik dari segi ragam ataupun jumlah makam. Makam modern di Toraja sudah berupa bangunan, ini dinamakan Patane. Biasanya di depan Patane terdapat boneka yang dibentuk mirip dengan almarhum. Boneka ini dinamakan Tau Tau dan menjadi ciri makam Toraja.

Erong
Erong
Namun sebelum masyarakat Toraja membangun makam dalam bentuk Patane, jenazah dahulu diletakkan di peti kayu dan kemudian peti kayu ini diletakkan di dinding batu yang telah dilubangi terlebih dahulu. Makam dengan peti kayu ini dimanamakan Erong, dan merupakan bentuk makam paling awal, bahkan sebelum liang pahat.

Alasan jenazah diletakkan di dinding batu adalah untuk menjaga barang barang berharga yang biasanya diletakkan bersama dengan jenazah di peti kayu, serta diletakkan di lubang di tebing batu agar sulit diambil. Ini berlaku untuk mencegah pencuri ataupun binatang liar yang seringkali merusak makam.


Banyak tulang belulang berserakan disini

Di area makam Kete Kesu, banyak sekali tulang belulang dan tengkorak yang seakan akan berserakan. Sebagian jenazah dahulu juga diletakkan begitu saja, hingga menjadi tulang.

Ada satu hal lagi yang menarik disini, anda akan menemukan satu ruangan yang dibatasi teralis besi. Di dalam ruangan itu terdapat banyak Tau Tau, boneka yang merepresentasikan jenazah.

Tau Tau Toraja
Tau Tau
Marischka Prudence
Saya di depan ruangan berteralis tempat Tau Tau disimpan
Saya melihat boneka berderet di dalam ruangan tersebut. Meski teralis digembok, saya dapat memperhatikan Tau Tau mulai dari yang terlihat sangat tua karena belum berbentuk bagus, masih pahatan tradisional sekali, hingga Tau Tau yang wajahnya benar benar menyerupai orang.

Rupanya beberapa kali Tau Tau ini dicuri, dibawa keluar negeri dan dijual. Inilah yang menyebabkan masyarakat Kete Kesu mesti memproteksi Tau Tau yang ada dengan meletakkan di dalam ruangan berteralis.

Bagi mereka Tau Tau adalah kenangan, representasi dari keluarga yang telah meninggal. Kadangkala di saat saat tertentu, baju yang dipakai Tau Tau ini diganti dengan yang baru, Tau Tau dirawat layaknya keluarga.

Saya membayangkan apa rasanya jika kenangan akan keluarga yang meninggal dicuri orang. Mungkin bagi kita yang awam, Tau Tau hanya boneka, karena itulah banyak tangan tangan jahil yang mengambil seenaknya, mencuri untuk dijual karena bagi beberapa kolektor Tau Tau bisa dihargai cukup mahal. Namun, apakah harga sebanding dengan memori? They said memory is priceless, a glimpse of sweet past is something you can’t trade with money. Semoga kita bisa lebih menghargai adat, budaya dan apa yang dipercaya masyarakat yang hidup dengan cara yang cukup berbeda dari kita.

Marischka Prudence
Experiences is also priceless!
@marischkaprue – will travel a lot before the death coming

6 comments:

aroengbinang mengatakan...

Semoga lestari, karena jika bukan karena alam yang indah, tentu budaya dan adat yang bisa menimbulkan kesan mendalam bagi pejalan, salam...

Pentilium5 mengatakan...

the Torajans approach death in a very different way ... a different perspective..

Lynn mengatakan...

beberapa waktu lalu sempat ke Makassar, mau berkunjung ke Tana Toraja... Tapi urung karena sewa mobil-tour guide di sana mahal banget per harinya :| sementara saya cuma berdua..

hopefully, i can visit this cool place in the future :)

Anonim mengatakan...

Blognya keren banget Prue :)

mo bantu dikit buat Lynn..
Sebenernya bisa kok ke Toraja (dari Makassar) dengan biaya nggak terlalu mahal dan nggak terlalu lama disana, nggak perlu nginep malah. Penjelasan lebih lengkapnya bisa baca disini :http://widyaps.wordpress.com/2013/04/10/menuju-toraja-2d1n/
Semoga bisa jadi alternatif :)

Anugrah Yanus Rundupadang ( Yaya' ) mengatakan...

masih banyak tempat dan budaya menarik di toraja, prue bisa datang lagi..siap jadi guide

@nnoart mengatakan...

Soal upacara kematian
Toraja emang yang paling berkesan di Indonesia
Bisa bertahun-tahun tuh sejak meninggal hingga dikuburkan
Adat istiadat seperti inilah yang membuat Indonesia kaya