Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Tampilkan postingan dengan label trekking rinjani. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label trekking rinjani. Tampilkan semua postingan

23 November 2012

, , , , , ,

Road To Peace


Hidup itu siklus. Ya, perputaran yang terus terjadi dan berkesinambungan, dan sayangnya kita manusia tidak punya kuasa untuk menentukan kemana arah putaran tersebut.

Seringkali putaran hidup itu seakan lelucon yang tidak lucu, kita sering memaki Tuhan karena memberikan posisi tidak enak, membuat kita galau tingkat dewa dan resah gelisah. Dua kata, tidak enak.

Kalau saya dan teman teman berkumpul, obrolan biasanya tidak jauh dari urusan kerjaan, gosip dan pria pria di kehidupan kami. Bagaikan siklus, sosok sosok yang keluar masuk dalam kehidupan ini selalu memberi atau bahkan mengambil bagian hati dan memori kita.

Sebagian, keluar dari kehidupan kita dengan cara yang tidak enak, mengambil bagian dari hati, memberi sisa ruang kosong dan meninggalkan memori yang rasanya, pedih Jendral!

Nah kemudian kalau galau ini sudah bertahta, sulit sekali meruntuhkannya. Saya pernah mendengar seseorang berkata "Perlu waktu rata rata 17 bulan dan 26 hari untuk melewati galau karena mantan," saya bahkan menyimpan kata kata itu untuk menghitung berapa lama saya butuhkan untuk berhenti galau.

 
Dan ternyata proses itu memang panjang, saya melewati waktu dengan berbagai cara, tapi sepertinya selalu ada rasa seperti beban yang masih melekat. Kemudian saya semakin menyibukkan diri, berkelana dari satu daerah ke daerah lain, namun saat kembali ke Jakarta, same shit same story still there in my mind and heart.

Waktu bergulir, kemudian datang satu hal. Gunung. Yap, gunung dan pendakian. Sebelumnya saya sudah pernah cerita bagaimana saya akhirnya masuk dalam dunia pendakian, dan meski pemula namun saya bisa berkata saya sudah ke puncak beberapa gunung dengan upaya keras saat mendaki.

Lalu apa hubungannya gunung dengan galau? mungkin anda bertanya seperti itu saat ini. Hmm, let me say, mendaki itu penuh filosofi. Mungkin karena jalur mendaki begitu berat, summit attack atau saat menuju puncak itu penuh perjuangan.

Saat saya summit attack di pendakian terakhir, angin bertiup sangat kencang, rupanya badai (saya baru tahu saat sudah turun), badan rasanya mati rasa tapi saya terus melihat puncak dan terus bergerak naik. Yang ada di pikiran saya cuma satu, saya sudah memulai dan harus menyelesaikan ini.

Berjam jam kemudian saya ada di atas, sampai di puncak dan semua rasa lelah itu hilang. Kepuasan terbesar mendaki bagi saya bukan keindahan saat di atas meski memang luar biasa pemandangannya, tapi kepuasan melewati rintangan yang terkadang berat karena apa yang ada di pikiran kita.

Amazing feeling being on top of Rinjani
Saat saya di puncak gunung saya berkata kepada diri saya sendiri "I can get through this, I can get through anything else, bring it on God," Dan saya pulang ke Jakarta dengan rasa lega, mungkin saya sudah bisa berdamai dengan diri sendiri.

Saya bercerita ini bukan berarti kalau galau obatnya naik gunung, mungkin bagi orang lain malah semakin galau. Namun, hal hal baru dalam kehidupan bisa memberikan kita pandangan yang berbeda, mengobati apa yang tidak selesai dengan rutinitas.

So please, if you're feeling down, go out, do something new, find where your heart belong and just embrace it.

@marischkaprue - found happiness after successfully make peace with herself on top of the mountain.

*As published on Divemag Indonesia Vol. 3 No 031, October 2012

RELATED STORIES:
   

14 November 2012

, , , , ,

Step by Step


Dua bulan yang lalu saya selalu mendeklarasikan diri saya sebagai pecinta laut, divers yang senang di lautan biru, merasa nikmat di semilir angin pantai dan selalu pulang ke Jakarta dengan proud tan (cara saya menyebut gosong akibat main di pantai dan laut).

Ada beberapa teman saya yang senang naik gunung. Dahulu, saya selalu bertanya pada mereka "ngapain sih capek capek naik gunung sampai berhari hari menderita gitu." Dan kemudian, dua bulan yang lalu hubungan saya dengan gunung dimulai.

Tim di tempat kerja saya memulai misi naik gunung, tujuan kita salah satu gunung yang masuk dalam daftar 7 summit. Maka, saya yang belum pernah naik gunung ini mulai di training: treadmill, jogging, naik turun tangga kantor yang 7 lantai sampai betis berkonde dan berbagai latihan fisik lain.

Dan mulailah kami mendaki, mulai dari Gunung Gede, kemudian selang dua minggu kami lanjut mendaki Gunung Rinjani. Dari dua lokasi ini, terutama yang terakhir saya menemukan keasikan tersendiri. Memang, mendaki itu capainya minta ampun, dari segi kenyamanan anggap saja hilang.

Yang paling utama adalah summit attack, saat saya dan teman teman menuju ke titik puncak sejak dini hari. Perjuangan panjang melewati medan yang cukup sulit ditambah angin kencang dan udara dingin terasa tidak ada habisnya.

Namun akhirnya saya sampai di atas, langsung disambut pendaki lain yang sudah ada disana. Semua yang dikatakan setiap pendaki yang saya temui memang benar "Saat di atas semua rasa lelah itu hilang," saya menikmati dengan sangat saat momen berada di atas.

Namun, bukan hanya pemandangan yang luar biasa yang membuat berada di puncak itu sedemikian nikmat. Jika tidak ada perjuangan, maka keindahan di puncak hanya keindahan yang dinikmati mata. Jika tidak bersulit sulit dahulu mendaki maka saya hanya akan merasa "Wow keren banget," dan bukannya "Luar biasa, ini hasilnya."



Mendaki gunung itu bagaikan filosofi hidup, untuk mendapatkan sesuatu yang besar, untuk menuju puncak kita harus berjuang, harus mau sulit dan melewati semua proses itu, maka saat berada di puncak kita akan lebih merasa puas dan selalu ingat perjuangan untuk ke atas, tidak takabur.

Saya bayangkan jika saya ke atas dengan instan, katakan saja jika memungkinkan memakai helikopter, kurang dari setengah jam sudah di puncak, lihat lihat lokasi dan sudah, tidak merasakan sebagai hal yang luar biasa, tidak akan menghargai perjuangan.

Bukannya saya apatis dengan kesuksesan instan, namun my dear, hasil yang diperoleh dengan bekerja selangkah demi selangkah itu saya percaya akan lebih bertahan lama, akan membentuk mental dan membuat kita sadar diri akan jalan yang telah kita tempuh.

Di laut saya diajarkan untuk sadar sebagai bagian kecil dari semesta yang luar biasa indah, di gunung saya diajarkan bahwa di atas bukan berarti bisa takabur, bahwa semua ada prosesnya, dan kita tidak bisa tinggal di puncak gunung selamanya.

As deep as ocean can be, as high as mountain to hike, we are human meant to live on the ground with Mother Nature. Go deep, aim high and never forget where we start. Godspeed!

@marischkaprue - not yet on top of her roller coaster life.


As published on Divemag Indonesia Vol 3 No 030, August-Sept 2012 


A piece of what happened during summit attack, here in this video:



RELATED STORIES: