Pernah merasakan marah yang meledak ledak? Kita tidak bisa
menahannya dan akhirnya keluar begitu saja dalam hitungan detik?
Dan kemudian beberapa jam berlalu kita mulai menyesali
amarah dan ledakan emosi tersebut, berharap kita melakukan hal yang lebih bijak
dan membayangkan opsi opsi penanganan emosi yang lebih elegan di kepala kita.
Namun, semua sudah terjadi, amarah dan emosi sudah keluar dan akan diingat oleh
pihak yang ada saat itu.
Saya sendiri sering mengalami itu, entah karena memang saya
tipe yang cukup emosional dengan hormon yang naik turun layaknya sebagian
perempuan lain sehingga ada istilah "When hormones took over, no argument
will win."
Artikel tentang menahan ledakan emosi ini sering
berseliweran di majalah, website, apapun itu. Tips dan trik untuk melawan
stimulasi emosi yang akan menguasai apa yang kita lakukan sudah berulang kali
dibahas.
Ah, bagaimanapun juga kita manusia yang terus belajar, dari
hal sekecil apapun, dan dari kesalahan sebesar apapun. Bayangkan dunia tanpa
emosi, bayangkan semua orang dapat menghadapi masalah dan emosi dengan elegan,
tanpa drama.
Saya selalu merasa setiap hal kecil dalam langkah saya
adalah garis di perjalanan. Mungkin kadang garis itu sedikit berbelok, atau
kita harus berputar balik. Ledakan emosi juga berguna untuk memberi kita ruang
kelegaan, layaknya buang angin kalau ditahan terus juga tidak enak, meski kalau
dikeluarkan bisa bikin yang ada di situ tutup hidung dan sebal.
Lalu analogi kentut ini jadi cukup nyambung. Bayangkan kita
sudah ingin buang angin, layaknya emosi terpendam yang harus dikeluarkan.
Solusinya, kembali ke analogi buang angin, lalukan di tempat yang "aman
dan nyaman." Aman dalam arti tidak akan memberi konsekuensi yang berat
bagi kita, lakukan di lokasi yang sedikit atau tidak ada orang, senyaman
mungkin bagi anda mengekspresikan diri.
Jika di tengah keramaian tiba tiba ada masalah yang membuat
anda ingin meledak ledak, cari wc terdekat, menangislah disana, kalau mau
teriak, teriak disana saja, setidaknya yang kebingungan dan menatap aneh hanya
yang ada di sana, istilahnya minimalisasi dampak.
Banyak manusia manusia elegan yang terlihat tidak punya
emosi, selalu berupaya terlihat baik dan tidak mau menunjukkan amarah meski
menurut saya mereka layak memperlihatkan emosi di situasi tertentu. Mungkin
mereka memang diberkati kemampuan seperti itu, tapi menurut saya dengan adanya
momen momen ledakan emosi kita jadi berpikir sejenak setelah emosi itu reda.
Syukur syukur kalau kita bisa belajar dari hal itu.
Manusia tanpa emosi itu hampa, individu tanpa kesalahan itu
surreal. Saya memilih untuk jadi manusia yang punya otak, punya hati dan kadang
yang satu mendominasi yang lain secara bergantian.
From every step we've been through, there are footsteps to
learn about.
@marischkaprue - emotionally active, emotionally learning.