Apa yang anda bayangkan saat mendengar kata desa di pedalaman?
terbelakang, tanpa fasilitas, bentukan rumah tanpa kasur? Terkadang kita yang
sudah dibuai fasilitas kota besar memandang pedalaman sebagai tempat yang tidak
menyenangkan, harus hidup "sulit" dan sebagainya.
Tapi justru, di pedalaman inilah saya menemukan kesenangan,
sensasi yang membuat saya ingin kembali dan kembali lagi. Dan, apa benar
pedalaman itu terbelakang? I'm sharing
the story, as you read it now..
Lokasi yang saya datangi adalah Desa Apau Ping, yang ada di
Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau. Untuk sampai ke Apau Ping, layaknya
pedalaman, perlu upaya dan perjalanan panjang
|
Dari Tarakan ke Kota Malinau mesti ditimbang sebelum naik pesawat |
|
Berat badan juga ditimbang sebelum naik pesawat Pilatus Porter |
|
Pilatus Porter kapasitas maksimal hanya 800 kg saja. |
Jika rutenya dijelaskan secara singkat, saya dari Jakarta
naik pesawat ke Balikpapan, melanjutkan penerbangan ke Tarakan, lanjut lagi
penerbangan ke Kota Malinau. Tapi ini belum selesai, masih ada satu penerbangan
lagi, dengan pesawat yang lebih kecil dari Kota Malinau untuk sampai ke
Kecamatan Bahau Hulu.
|
Lapangan udara di Bahau Hulu |
Penerbangan dari Kota Malinau ke Bahau Hulu hanya dapat
dilakukan dengan pesawat berkapasitas 9 penumpang. Pilatus Porter nama pesawat
baling baling yang membawa kami mendarat di landasan tanah beralaskan rumput,
banyak cerita pesawat yang tergelincir karena medan yang sulit, namun saat
penerbangan semuanya berjalan dengan mulus dan menyenangkan, bahkan saya
menikmati melihat hutan Kalimantan dari pesawat.
Nah, dari landasan inilah, perjalanan sesungguhnya dimulai.
Kami menggunakan ketinting, sebutan untuk perahu kayu berukuran kecil dan
memanjang yang menjadi satu satunya moda transportasi menuju pedalaman di
Malinau. Area Bahau Hulu masih berupa hutan luas, sehingga satu satunya cara
transportasi adalah menyusuri sungai Bahau dengan ketinting.
|
Di Perjalanan, melewati bebatuan :) |
|
Menyusuri sungai Bahau |
|
Saat melewati jeram |
Perlu waktu berjam jam menuju ke Desa Apau Ping, perjalanan
juga dilakukan dengan berulang kali naik turun ketinting, karena disaat
melewati jeram kami harus turun dan berjalan melewati bebatuan, kemudian
ketinting akan ditarik oleh orang lokal yang jadi pengemudi dan juru batu
kapal.
Melewati hutan tidak tersentuh di pedalaman Kalimantan ini
benar benar menyenangkan, rasanya tenang, damai, tanpa sinyal, tanpa keributan.
Saya benar benar merasa berada-entah-dimana-namun-tidak-perduli, saya sangat
menikmati melihat lihat sekeliling dan sensasi dikelilingi pepohonan rimbun
sambil menyusuri sungai.
|
Penduduk Desa Apau Ping |
|
Ini cara tradisional menggendong bayi di Bahau Hulu :) |
Apau Ping berjarak tiga jam perjalanan dari landasan udara
di Bahau Hulu. Jauh dari kota besar, kehidupan di desa ini cukup sulit, meski tenang.
"Harga bahan bakar 20 ribu per liter," ujar Yusuf Apoe, kepala Desa
Apau Ping.
Bahan bakar ini penting bagi desa karena untuk transportasi
mereka menggunakan bahan bakar untuk ketinting, juga untuk listrik yang hanya
dinyalakan dari jam 7 malam hingga jam 6 pagi. "Dulu masyarakat sini
banyak yang pindah ke Malaysia," tambah Yusuf Apoe. Lokasi Apau Ping
memang berbatasan dengan Malaysia. Dahulu banyak warga desa yang berjalan
berhari hari melewati hutan untuk sampai dan menetap di Malaysia.
Saat ini warga yang tersisa berupaya bertahan, sebagian
membuat kerajinan yang dijual ke Bahau Hulu, sementara kebutuhan sehari hari
didapat dari bercocok tanam.
Yusuf Apoe menjelaskan pada saya sulitnya hidup di pedalaman
dengan akses transportasi yang hanya satu, ketinting. Namun ia kemudian
menegaskan pada saya, bahwa masyarakat disini bahagia, cuma ia menitip satu
hal, agar dibuatkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), ujarnya berharap ada
bantuan dari pemerintah.
Meski bercerita tentang kesulitan di desa, Yusuf Apoe
langsung mengantar kami ke lapangan tengah di desa, dimana tarian masyarakat
dengan baju adat Dayak menari menyambut kami.
|
Bersama warga Dayak Kenyah |
"Ini tarian tunggal, kami dayak Kenyah lakukan ini
biasanya untuk pesta syukuran nama anak, dimana bapak dan ibu menari,"
ujarnya menjelaskan. Tarian semacam ini sekarang tidak hanya untuk pesta
syukuran saja, namun selalu dilakukan saat hari besar ataupun saat menyambut
tamu.
Yang menarik tidak hanya tarian adat, ataupun pakaian suku
dayak. Alat musiknya pun tradisional dan semuanya dibuat sendiri. Kemudian ada
satu hal lagi yang mengusik saya, anting anting tradisional suku dayak Kenyah
diikatkan ke tali rafia, tidak lagi ke telinga mereka. Saya memperhatikan bahwa
tradisi memasang anting hingga membuat telinga mereka panjang sudah tidak ada
lagi. "Dahulu kami dapat penyuluhan, bahwa itu (telinga panjang) tidak
baik," ujar kepala desa. Saya kemudian menyadari bahwa banyak perempuan
dayak yang berumur telinganya sudah dipotong, telinga mereka yang sebelumnya panjang
karena anting anting dianggap tidak baik dan dipotong agar ukurannya kembali
terlihat normal.
|
Warga desa tertawa melihat tingkah laku kami |
|
Saya dengan baju adat dayak Kenyah, cocok tidak? :) |
Kami diajak ikut menari, kemudian berfoto bersama.
Masyarakat Desa Apau Ping tertawa melihat saya dan teman teman berinteraksi
dengan mereka. Tawa bahagia dan hidup yang sederhana, maybe I should learn a lot from them, sincerity, that no matter where
you came from, no matter how difficult their life might seems, but open hand
and hospitality are everywhere in this country.